Sabtu, 08 Mei 2010

Aforisme Dunia 4

135.Di negeri-negeri yang sudah tua, yang tidak lagi under developed, pers mahasiswa sungguh-sungguh merupakan, Community-paper daripada masyarakat mahasiswa. Ia tidak ambil bagian akan persoalan-persoalan nasional atau paling tidak: ia tidak perlu pusing. Tetapi di Indonesia dan juga negeri-negeri lain yang baru lahir, new born countries dimana jumlah kaum intelegensia sangat minim, keadaannya lain. Kaum intelegensia, sejak ia masih menuntut ilmu, sudah dituntut sumbangan pikiran dan kepandaiannya, pengetahuannya dan pertimbangannya.
(Nugroho Notosusanto).
136.Cara terbaik memprediksi masa depan adalah dengan menciptakannya.

Peter F. Drucker.
137.Bila kita mempergunakan pemeriksaan psikologis sebagai saya terangkan di atas, maka sebenarnya dengan pengetahuan kita, kita membantu meringankan hukum alam, "the survival of the fittest", dan boleh dikatakan bahwa disamping hukum ini kita mempergunakan ilmu untuk mengatasi dasar-dasar yang diletakkan oleh ciptaan alam dalam dunia orang: "intelligence-mastering nature". Dengan demikian kita mendekati apa yang kita maksudkan: "The right man on the right place", what ever place it may be dengan menghindarkan "The right man on the wrong place; the wrong man on the right place; the wrong man on the wrong place".
Slamet Iman Santoso.
138.Hidup ini adalah perubahan dan perjuangan terus-menerus, menuju sesuatu yang tidak kita ketahui. Akal manusia tidak tahan dengan perjuangan yang tiada akhir itu. Ia sering menyerah, lalu mencari penyelesaian mudah. Memang jawaban yang diberikan oleh akal, tidak pernah memuaskan dan tidak pernah sebanding dengan rumitnya persoalan hidup manusia. Jawaban dari persoalan manusia itu adalah hidupnya sendiri. Hidup itulah yang harus diterimanya.
(Leo Tolstoi/disampaikan oleh Kompas)
139.Kualitas-integritas-produktivitas-efisiensi manusia berdasarkan sistem pendidikan dari umur 3/4 tahun sampai kira-kira umur 23/25 tahun. Kurun waktu ini disebut "the formative years of human destination". Kurun waktu ini menentukan nasib dan kemudian hari seorang manusia.
Slamet Iman Santoso.
140.Dalam rangka pendidikan ini, maka kualitas-integritas guru, sepanjang masa harus tetap tinggi. Kalau guru kualitas-integritasnya kurang, maka soal ini merupakan bahaya terpendam. Kalau guru kurang kualitas-integritasnya, dan berdinas 25 tahun, maka bisa membahayakan 25X40 murid, sama dengan 1000 anak manusia. Dan kerusakan tidak segera dapat diketahui. Baru 10-15 tahun setelah meninggalkan bangku sekolahan, lulusan pendidikan mulai tidak bisa mengatasi kesukaran dalam pekerjaan dan kehidupan berkeluarga. Mulailah pekerjaan terlantar, menipu, korupsi, dan seterusnya. Sepuluh sampai lima belas tahun setelah meninggalkan bangku sekolahan, mulai terjadi "disorganisasi kepribadian". Dan kalau banyak terdapat manusia demikian, maka terjadi pula "social disorganisation".
Slamet Iman Santoso.
142.Eksistensialisme sebagai filsafat tentang manusia bertolak dari dalil bahwa manusia bukan esensi, melainkan eksistensi. Sebagai perwujudan, manusia adalah kemungkinan-kemungkinan dan sejalan dengan itu setiap saat harus membuat pilihan di antara kemungkinan-kemungkinan itu. Singkatnya, manusia senantiasa berhadapan dengan kenyataan sebagai alternatif-alternatif. Dari titik tolak ini, maka eksistensialisme berkesimpulan bahwa manusia bukan suatu perwujudan yang mantap dan pasti.
(Fuad Hassan).
143.Dengan kesadarannya, manusia adalah kemerdekaan. Dia bisa melihat begitu banyak kemungkinan, yang dia bisa pilih. Tapi pada saat yang sama, kemerdekaannya juga serba dibatasi. Manusia dilemparkan ke suatu dunia yang asing. Di dunia ini segala sesuatu diberikan tanpa keterangan apa-apa. Manusia diberikan akal dan kesadaran, tapi akalnya tidak bisa menerangkan misteri kehidupan ini. Inilah absurdnya kehidupan manusia. Absurditas lahir dari konfrontasi antara keinginan manusia untuk mengerti dan dunia yang membisu menyimpan rahasia dirinya. Manusia terus saja hidup dan alam terus saja menyimpan rahasianya. Kalau kehidupan yang kita hidupi adalah kehidupan yang absurd, mengapa kita tidak bunuh diri?
Bila absurditas adalah hasil pertentangan antara keinginan manusia untuk mengerti melawan dunia yang membisu secara irrasionil, maka pertentangan ini tidak bisa diselesaikan dengan menghancurkan salah satu kutub dari persoalan ini, yakni dengan cara membunuh diri. Jika saya berusaha memecahkan persoalan ini, paling sedikit saya tidak boleh menghapuskan salah satu faktor dari persoalan tersebut. Ini bukan memecahkan persoalan.
Dan lebih dari itu, bunuh diri sama saja bagi manusia dengan membiarkan dirinya dikalahkan oleh absurditas.
Sebab dalam keputusasaan untuk keluar dari kehidupan yang absurd ini, dia melompat ke dalam pelukan ketidak-adaan yang akan menghancurkan dirinya: dia menjadi hina karena menghancurkan kemanusiaannya sendiri.Jadi, bila persoalan ini tidak bisa dipecahkan dengan melarikan diri dari kehidupan, maka pilihan kita ialah untuk kehidupan dan untuk keberanian yang akan membuat kita hidup bersama absurditas dengan perasaan bangga dan terhormat.
Maka dalam menghadapi kehidupan yang absurd ini kiranya cukup jelas: hadapi tanpa pernah menyerah. Di sinilah justru kebesaran dan kemenangan manusia, bahwa dia tidak pernah bisa dikalahkan, dalam keadaan apapun.
Albert Camus mengambil sebagai tokohnya Sisiphus, seorang tokoh legenda Yunani, yakni dewa yang dihukum untuk mendorong batu yang besar ke puncak sebuah gunung. Di puncak gunung tersebut, sudah menunggu Zeus yang begitu batu itu tiba, segera ditendang ke bawah lagi. Ini berlangsung terus-menerus. Dan Sisiphus tidak pernah putus asa, setiap kali batu itu jatuh lagi ke bawah, dia kembali turun menyusuri kaki gunung, dengan semangat yang sama.
Disinilah Camus menjadi tertegun, karena meskipun nasib begitu berat menimpa sang dewa, dia tetap bersemangat untuk berjuang tanpa mau menyerah. Di dalam keadaan seperti inilah Camus melihat Sisiphus menjadi lebih besar dari nasibnya sendiri.
Demikianlah, bagi Camus, manusia juga bisa hidup di dalam suatu kehidupan yang absurd. Manusia bisa memberontak terhadap absurditas yang mau menelannya ke dalam cengkeraman ketidak-adaan. Manusia bisa berbahagia, meskipun barangkali kebahagiaan itu merupakan suatu kebahagiaan yang tragis. Manusia bisa menjadi bangga karena dia tidak pernah menyerah.
(Albert Camus/disampaikan oleh Arief Budiman).

(DARI BERBAGAI SUMBER)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar